DAMPAK DARI KOLONIALISME YANG TERJADI DI BANYUWANGI
KEJADIAN PUPUTAN BAYU
Puputan Bayu atau Pemberontakan Jagapati adalah perlawanan dari rakyat Blambangan terhadap pendudukan Belanda di Banyuwangi.
Perang yang dilancarkan pada 18 Desember 1771 ini dipimpin oleh Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati. Puputan Bayu termasuk salah satu peperangan terbesar dalam sejarah pendudukan Belanda di Indonesia. Sebab, perang ini membuat Belanda kewalahan hingga kehilangan sejumlah pejabat dan perwira militernya serta memakan puluhan ribu korban.
Lantas, apa yang menjadi penyebab Perang Bayu dan bagaimana kronologi serta dampaknya?
LATAR BELAKANG
Meletusnya Puputan Bayu adalah salah satu dampak penyerahan wilayah Pasuruan hingga Blambangan oleh penguasa Mataram ke VOC.
Setelah lepas dari kekuasaan Mataram, Kerajaan Mengwi di Bali mengklaim atas kepemilikan Blambangan. Kerajaan Mengwi kemudian mengizinkan Inggris untuk mendirikan kantor dagang di wilayah kekuasaannya tersebut. Aktivitas perdagangan Inggris di Blambangan tentu saja membuat VOC terusik dan mengambil tindakan. Kedatangan VOC dengan membawa puluhan kapal besar serta ribuan tentara membuat rakyat Blambangan marah dan melakukan perlawanan
KRONOLOGI PUPUTAN BAYU
Pada 25 Maret 1767, ibu kota Blambangan berhasil dikuasai Belanda. Dengan dikuasainya Blambangan oleh Belanda, bukan berarti perjuangan untuk melawan penjajah menjadi terhenti. Bahkan Pangeran Agung Wilis yang waktu itu diangkat menjadi Pangeran Blambangan terus memimpin rakyatnya untuk melawan Belanda. Sayangnya, Pangeran Agung Wilis berhasil ditangkap dan diasingkan ke Selong, dekat Pasuruan. Setelah penangkapan Pangeran Agung Wilis, VOC semakin bersikap sewenang-wenang terhadap rakyat Blambangan. Bahan pangan dirampas dan rakyat menjadi korban tanam paksa serta kerja paksa. Kondisi ini membuat rakyat berbondong-bondong menyelamatkan diri ke Bayu, yang masuk dalam Kecamatan Songgon, Kabupaten Banyuwangi. Di daerah inilah kepemimpinan rakyat Blambangan melawan Belanda dilanjutkan oleh Mas Rempeg atau Pangeran Jagapati. Pangeran Jagapati memimpin perjuangan rakyat pada 1771-1772, yang kemudian dikenal dengan sebutan Puputan Bayu atau Perang Bayu. Perjuangan yang dipimpin oleh Pangeran Jagapati ini dikatakan sebagai puncak perlawanan rakyat Blambangan dan perang habis-habisan terhadap penjajah Belanda. Pangeran Jagapati melancarkan serangan besar-besaran pada 18 Desember 1771. Tanggal peristiwa puncak Puputan Bayu inilah yang kemudian dipilih menjadi hari jadi Kota Banyuwangi. Puputan Bayu cukup berhasil karena mampu menghancurkan pertahanan Belanda dan menewaskan banyak pemimpin militernya. Akan tetapi, Blambangan sendiri juga porak-poranda dan puluhan ribu penduduknya menjadi korban.
Pangeran Jagapati gugur dalam Perang Bayu dan benteng terakhir Blambangan jatuh ke tangan VOC pada 1773. Dengan begitu, pertempuran berakhir dan Blambangan resmi dikuasai VOC.
DAMPAK PUPUTAN BAYU
Meski berhasil memenangkan pertempuran, Belanda mengalami kerugian besar akibat Puputan Bayu. Pasalnya, VOC tidak hanya kehilangan ratusan tentara, tetapi sejumlah pejabat dan perwira militernya juga gugur dalam pertempuran.
Mereka adalah Residen Cornelis van Biesheuvel, Sersan Mayor van Schaar, Letnan Kornet Tinne, Vandrig Ostrousley, dan Kapten Reygers.
Untuk menghalau pasukan Blambangan, VOC mengerahkan 10.000 tentara yang dilengkapi dengan senjata canggih. Biaya perang untuk mengerahkan pasukan ini kabarnya menghabiskan delapan ton emas. VOC dapat dikatakan merugi, karena kemenangan yang didapatkan tidak sepadan dengan biaya yang dikeluarkan untuk membiayai perang.
Puputan Bayu kabarnya memakan puluhan ribu korban, ditaksir mencapai lebih dari 60.000 jiwa. Para korban ini terdiri dari puluhan ribu penduduk yang ditangkap dan dihukum mati oleh VOC, tewas karena kelaparan, dan mengungsi ke daerah lain.
Saat Inggris berkuasa, jumlah penduduk pribumi Banyuwangi sangat kecil, yakni tinggal sekitar 8.554 jiwa. Sebagian besar penduduk yang masih tinggal adalah penduduk asli yang berasal dari lapisan bawah, yang akhirnya dikenal sebagai pewaris budaya dan tradisi Blambangan atau kelompok etnik Using.
Untuk menambah jumlah penduduk, Belanda mendatangkan etnis lain, seperti orang Vorstenlanden dan Madura. Dalam kurun waktu 50 tahun, jumlah penduduk Banyuwangi meningkat menjadi hampir lima kali lipat, yaitu 39.470 jiwa.
KESIMPULAN
Pada perang puputan Bayu memiliki dampak buruk yaitu banyaknya memakan korban dan hal tersebut termasuk ke dalam dampak Kesehatan dan Higiensis dan Munculnya Sentimen Rasial.
Yuk bergabung dengan SMK ENTREPRENEUR TAHFIDZ
” masa depan di raih saat ini ! “
Informasi pendaftaran :
– 085745153312 ( Ust. Sholeh )
Copyright © 2023 – All Rights Reserved.
Made with ❤ by Websekolahku.ID